Memiliki keturunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fase kehidupan manusia lalu bagaimana untuk pasangan yang hidup abnormal alias pernikahan sejenis. Maraknya tren pernikahan sejenis di Amerika, menimbulkan polemik bagi pasangan yang ingin memiliki keturunan. Jasa donor sperma gratis pun akhirnya bertebaran. Sebut saja contoh yang dialami Beth Gardner, profesional teknologi berusia 35 tahun, yang baru menikahi kekasih sejenisnya, Nicole. Mereka memulai pencarian ke bank sperma yang lengkap dengan catatan latar belakang donornya, dan bisa dipesan sesuai keinginan.
Sayang, harganya cukup mahal. Sekitar US$2.000 atau Rp17,8 juta, hanya untuk spermanya saja. Tidak termasuk biaya konsultasi, injeksi sperma, perawatan dan terapi hormon yang menyertainya. Pulang ke rumah dengan kecewa, Beth dan Nicole pun mencoba merambah internet dan mengetik kata ‘free sperm donor’. Tak disangka, mereka malah masuk ke dunia underground online dengan berbagai iklan pribadi, forum terbuka dan situs-situs dengan keanggotaan. Semua ditujukan bagi wanita yang mencari donor sperma.
Situs-situs itu juga mencari dan menawarkan pria dengan spermanya. Tapi tak seperti bank sperma, mereka tak perlu dibayar. Selain itu, pria-pria ini juga membuka identitasnya dan mengizinkan dihubungi anak-anak mereka kelak. Motif mereka beragam, ada yang sekadar iseng, ada yang demi seks dan ada pula yang ingin menebarkan gen.
Penasaran, Beth dan Nicole mencobanya. Beberapa hari kemudian, ada yang berminat dengan permintaan mereka. “Beberapa diantaranya aneh. Tapi selebihnya baik dan sudah jelas, mereka terpelajar,” ujar Beth. Berbagai tes kesehatan dilakukan dan akhirnya pilihan mereka jatuh pada pria berusia 30-an tahun. Kedua perempuan itu meminta sperma bukan secara alamiah alias berhubungan seksual. Namun, dengan inseminasi buatan (AI). Yakni sperma disuntikkan ke dalam vagina atau dimasukkan ke dalam wadah lateks yang cukup dimasukkan ke dalam mulut rahim.
Dengan proses yang mudah itu, tempat pertemuan pun bisa ditentukan secara mendadak. Mulai dari hotel, kursi belakang mobil, trailer berkemah, hingga kamar mandi Starbucks. Beth dan Nicole, serta donor mereka memilih tempat yang terakhir. Si donor ejakulasi di kamar mandi dan menyerahkan wadah lateks penuh sperma kepada Nicole. Kemudian gantian, Nicole yang masuk kamar mandi dan ‘menyuntikkan’ sperma itu.
Ketiganya kemudian duduk di dalam kedai kopi itu, seperti tiga kawan yang sedang hangout. Sayang, Nicole tak hamil. Akhirnya mereka mencoba donor baru dan Beth makin percaya dengan metode ini hingga meluncurkan situs Free Sperm Donor Registry (FSDR) yang mirip situs kencan, untuk orang-orang seperti dirinya dan Nicole.
Dalam enam bulan, FSDR memiliki lebih dari dua ribu anggota, termasuk diantaranya empat ratus donor. Mereka mengklaim sukses ‘menghamili’ belasan orang dan lima diantaranya akan lahir tahun ini. Apa yang dilakukan Beth dan Nicole serta keberadaan FSDR, merupakan perubahan baru dalam penelitian ilmuwan mengenai kesuburan.
Apalagi di Amerika, biaya mendatangi bank sperma yang resmi cukup mahal. Mereka yang menikahi pasangan sejenisnya juga kecewa karena asuransi tak mau menanggung biaya inseminasi buatan kecuali juga si perempuan memiliki bukti benar-benar tak bisa mengandung. Lagipula, mereka merasa si anak harus kenal ayahnya, hal yang dirahasiakan bank sperma.
Jika sebelumnya masalah kesulitan memiliki anak, terutama di Amerika, biasanya dikaitkan dengan kesehatan pasangan. Namun, kali ini masalahnya orientasi seksual. Tentu, pasangan sejenis tak bisa menciptakan kehidupan normal dan membutuhkan pihak ketiga untuk membantunya. Di sinilah situs seperti FSDR berperan besar, meski anggotanya kebanyakan tak saling kenal.
Bagaimana menurut Anda?
(Sumber)
Sayang, harganya cukup mahal. Sekitar US$2.000 atau Rp17,8 juta, hanya untuk spermanya saja. Tidak termasuk biaya konsultasi, injeksi sperma, perawatan dan terapi hormon yang menyertainya. Pulang ke rumah dengan kecewa, Beth dan Nicole pun mencoba merambah internet dan mengetik kata ‘free sperm donor’. Tak disangka, mereka malah masuk ke dunia underground online dengan berbagai iklan pribadi, forum terbuka dan situs-situs dengan keanggotaan. Semua ditujukan bagi wanita yang mencari donor sperma.
Situs-situs itu juga mencari dan menawarkan pria dengan spermanya. Tapi tak seperti bank sperma, mereka tak perlu dibayar. Selain itu, pria-pria ini juga membuka identitasnya dan mengizinkan dihubungi anak-anak mereka kelak. Motif mereka beragam, ada yang sekadar iseng, ada yang demi seks dan ada pula yang ingin menebarkan gen.
Penasaran, Beth dan Nicole mencobanya. Beberapa hari kemudian, ada yang berminat dengan permintaan mereka. “Beberapa diantaranya aneh. Tapi selebihnya baik dan sudah jelas, mereka terpelajar,” ujar Beth. Berbagai tes kesehatan dilakukan dan akhirnya pilihan mereka jatuh pada pria berusia 30-an tahun. Kedua perempuan itu meminta sperma bukan secara alamiah alias berhubungan seksual. Namun, dengan inseminasi buatan (AI). Yakni sperma disuntikkan ke dalam vagina atau dimasukkan ke dalam wadah lateks yang cukup dimasukkan ke dalam mulut rahim.
Dengan proses yang mudah itu, tempat pertemuan pun bisa ditentukan secara mendadak. Mulai dari hotel, kursi belakang mobil, trailer berkemah, hingga kamar mandi Starbucks. Beth dan Nicole, serta donor mereka memilih tempat yang terakhir. Si donor ejakulasi di kamar mandi dan menyerahkan wadah lateks penuh sperma kepada Nicole. Kemudian gantian, Nicole yang masuk kamar mandi dan ‘menyuntikkan’ sperma itu.
Ketiganya kemudian duduk di dalam kedai kopi itu, seperti tiga kawan yang sedang hangout. Sayang, Nicole tak hamil. Akhirnya mereka mencoba donor baru dan Beth makin percaya dengan metode ini hingga meluncurkan situs Free Sperm Donor Registry (FSDR) yang mirip situs kencan, untuk orang-orang seperti dirinya dan Nicole.
Dalam enam bulan, FSDR memiliki lebih dari dua ribu anggota, termasuk diantaranya empat ratus donor. Mereka mengklaim sukses ‘menghamili’ belasan orang dan lima diantaranya akan lahir tahun ini. Apa yang dilakukan Beth dan Nicole serta keberadaan FSDR, merupakan perubahan baru dalam penelitian ilmuwan mengenai kesuburan.
Apalagi di Amerika, biaya mendatangi bank sperma yang resmi cukup mahal. Mereka yang menikahi pasangan sejenisnya juga kecewa karena asuransi tak mau menanggung biaya inseminasi buatan kecuali juga si perempuan memiliki bukti benar-benar tak bisa mengandung. Lagipula, mereka merasa si anak harus kenal ayahnya, hal yang dirahasiakan bank sperma.
Jika sebelumnya masalah kesulitan memiliki anak, terutama di Amerika, biasanya dikaitkan dengan kesehatan pasangan. Namun, kali ini masalahnya orientasi seksual. Tentu, pasangan sejenis tak bisa menciptakan kehidupan normal dan membutuhkan pihak ketiga untuk membantunya. Di sinilah situs seperti FSDR berperan besar, meski anggotanya kebanyakan tak saling kenal.
Bagaimana menurut Anda?
(Sumber)
0 komentar:
:rate5: :hoax: :nyimak: :thanx: :pertamax: :cendol: :bingung: :sundul: :iloveindonesia: :marah: :ngacir: :kiss: :bata:
Posting Komentar
Mohon Commnent