JOMBANG, KOMPAS.com — Keluarga besar Komisaris Jenderal Timur Pradopo di Desa Gempollegundi, Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sedang bergembira.
Dia tak segan makan nasi jagung, sarapan sega wadhang nasi sisa kemarin sebelum berangkat sekolah. Itu dilakukan tak hanya saat SD, tetapi juga ketika sudah di SMP dan SMA. Suwarti 77, tante Jenderal Timung
Kerabatnya pun terkejut karena tak menduga Timur akan mencapai puncak karier sebagai polisi. Seluruh keluarga pun merasa bersyukur.
Mereka menilai jika Timur betul-betul ditetapkan menjadi Kapolri, itu keputusan yang layak. Sebab, sosok Timur di keluarga besarnya merupakan teladan.
Selain bertanggung jawab, kepemimpinannya juga menonjol, selain sikap hidupnya pun tergolong sederhana.
Kesederhanaan ini tampak ketika wartawan Surya menyambangi rumah keluarganya di Gempollegundi, tempat Timur menghabiskan masa kecil dan remajanya.
Kondisi rumah induk yang dulu ditempati kakek dan neneknya itu, mendiang Syaiun-Ti’ah, kondisinya jauh dari kesan mewah. Bahkan, masih terkesan sebagai bangunan kuno.
Lantai rumah hanya bahan plester biasa, dengan dinding tembok dan genting usang. Rumah tersebut kini dihuni Suwarti (77), tante Timur, bersama dua anaknya yang sudah berkeluarga, Wilujeng (27) dan Andayani (29).
Adapun rumah orangtua Timur, Sigit Syaiun-Sriyati (79), berada di sebelah kiri rumah induk. Selain sederhana, juga terlihat tidak terawat.
Rumah yang dulu ditinggali Sigit-Suastri beserta tujuh anak—termasuk anak mbarep atau sulung, Timur Pradopo—itu sejak 10 tahun lalu memang tidak dihuni siapa pun.
Sigit meninggal beberapa tahun lalu dan dikebumikan di desa setempat, sedangkan Sriyati kini bermukim di luar kota.
“Mbak Sriyati lebih sering tinggal di luar kota. Kadang-kadang di Jakarta, Bandung, Kota Jombang, Blitar. Dia tinggal di rumah anak-anaknya secara bergiliran,” kata Suwarti, Selasa (5/10/2010).
Suwarti mengenang Timur kecil sebagai anak pendiam. “Selain pendiam, dia juga klemak-klemek (lamban, tidak sigap). Tapi di sekolah, Timung (panggilan akrab Timur) memang pintar,” ujar adik kandung almarhum Sigit, ayah Timur, ini.
Hanya, menurut Suwarti, kesederhanaan dan semangat Timur untuk maju memang luar biasa. Dengan kondisi ekonomi keluarga pas-pasan, ayahnya seorang guru dengan tanggungan tujuh anak, Timur tak pernah patah semangat untuk terus bersekolah.
“Dia tak segan makan nasi jagung, sarapan sega wadhang (nasi sisa kemarin) sebelum berangkat sekolah. Hal itu dilakukan tak hanya saat SD, tetapi juga ketika sudah di SMP dan SMA,” kata Suwarti.
Setelah lulus SD di desanya, Timur meneruskan ke SMP Katolik dan SMA Katolik Kertosono, Nganjuk. Mengenai hobi Timur semasa kecil dan remaja, Suwarti teringat keponakannya itu suka membaca buku. “Dia juga suka sepak bola dan main tembak-tembakan bersama teman-temannya,” ujar Suwarti. (Sutono)
0 komentar:
:rate5: :hoax: :nyimak: :thanx: :pertamax: :cendol: :bingung: :sundul: :iloveindonesia: :marah: :ngacir: :kiss: :bata:
Posting Komentar
Mohon Commnent